Masih melekat dalam pikiran kita semua ketika batik dan lagu rasa sayange yang kita anggap sebagai hasil budaya telah nyaris lenyap pindah ke negeri seberang. Beruntung kala itu kita terbangun dan memperjuangkannya, sehingga budaya luhur itu masih tetap di pangkuan ibu pertiwi. Tapi seiring berjalannya waktu, dan kian berkembangnya globalisasi, masihkah kita akan percaya bahwa itu semua adalah budaya kita?
Globalisasi adalah sebuah gerakan yang akan mengikis batasan-batasan setiap daerah, wilayah, dan negara. Gerakan yang bercita–cita untuk menjadikan dunia ini menjadi satu, dengan segala kemiripan di dalamnya, termasuk budaya. Menggunakan media massa dan kemajuan teknologi untuk memaparkan segala aktivitas di dunia telah menjadi jalan yang lapang bagi gerakan ini, hingga hampir setiap negara telah melihat negara lain, keindahannya, keunikannya, kurang dan lebihnya dengan mudah. Tak terkecuali Indonesia, melihat dan dilihat dengan mudah.
Sayangnya kita lebih banyak melihat dari pada dilihat. Sehingga konsekuensi logis dari melihat kemudian meniru telah terjadi di hampir setiap aspek dari cara dan gaya hidup kita. Mulai dari gaya berpakaian, cara bergaul, cara dan jenis makanan, hingga cara kita berbudaya telah banyak mendapat pengaruh dari banyak pihak. Mungkin kita tidak serta merta meninggalkan budaya kita, namun terjadi negosiasi yang cenderung memenangkan pihak luar. Contoh paling mudah adalah dari musik, dangdut yang kita anggap musik rakyat, kini telah mengalami perubahan yang signifikan guna menjaga eksistensinya. Dangdut kerap kali disandingkan dengan musik beraliran tecno, yang cenderung lebih diterima oleh telinga remaja sekarang.
Selain itu, masih banyak lagi kehebohan di dunia ini yang telah merasuki kehidupan orang Indonesia. Gangnam style dan harleem shake yang kini populer di seantero jagad, juga menjadi tontonan favorit kita semua, hingga kita mulai malu dan bosan jika melihat tarian andun, tarian kecak, atau tarian-tarian lain yang notabene adalah jati diri kita. Minimnya keinginan generasi muda untuk mau mengenal dan melestarikan budayanya menjadikan masalah ini kian keruh. Ini semua hanya sepenggal contoh dari ribuan contoh yang jelas terpampang di mata kita semua, dan kita nikmati bersama.
Maka tidaklah salah jika kita mulai lupa akan jati diri sebagai penghuni negeri ini, karena apa yang kita lihat bukan lagi apa yang kita miliki. Lambat laun mungkin kita tidak akan lagi ingat bahwa kita memiliki batik, gendang, wayang, dan kebudayaan lainnya, yang mungkin kita tahu nantinya hanya nama Indonesia. Maka inilah kita sekarang, dan mungkin untuk waktu yang akan datang, Indonesia negara dengan 10 pengikut dan ribuan yang diikuti.
Muhammad Subkhan,
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unair