Guru adalah sosok yang begitu vital dalam proses kemajuan bangsa ini dan peningkatan sdm di Indonesia. Guru adalah sosok yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pembentukan moral bagi generasi muda kita. Masih guru juga yang bertanggung jawab untuk sebuah title “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun kini arti harfiah dari guru bukan sosok yang seperti di atas namun lebih kepada staf pengajar, atau bahkan hanya sebuah profesi mudah yang begitu banyak diburu oleh banyak orang.
Bukan hal yang tidak mungkin jika guru adalah sebuah profesi menjanjikan dan begitu banyak peminatnya. Pekerjaan yang tidak ada target tinggi, tidak ada tekanan atasan, sebuah garansi “kenyamanan” bagi mereka yang berorientasi asal bapak senang. Lebih jauh lagi, guru juga menjadi profesi yang menjanjikan kesejahteraan bagi para pengajar. Bagaimana tidak, kini gaji bagi seorang pengajar juga terhitung cukup untuk menunjang kehidupan. Belum lagi begitu banyak program berbasis peningkatan kesejahteraan guru, contoh paling mudah dan nyata adalah sertifikasi guru dan begitu banyak tunjangan-tunjangan lain yang menyertai.
Sayangnya kemudahan yang didapatkan, fasilitas-fasilitas penunjang yang diberikan, dan peningkatan ekonomi yang telah dirasakan tidak berbanding lurus dengan usaha yang diberikan untuk peningkatan kualitas moral dan sdm bangsa ini. Buktinya anak didik sekarang masih “butuh” mencontek, masih “suka” membeli kunci jawaban UN, hingga dengan “bangga” mengunjungi, menggunakan, atau mempercayai hal-hal gaib yang jelas tidak berhubungan dengan pendidikan. Kualitas pendidikan moral juga terbilang rendah dengan masih adanya tawuran, tingginya seks bebas di kalangan pelajar, penggunaan narkotika dan miras yang kian marak.
Jika memang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka pertanyaannya kini adalah bagaimana tanggung jawab guru atas begitu banyak kasus diatas? Seharusnya adalah hal yang sangat mustahil jika pahlawan bukan sosok yang bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi untuk peningkatan kualitas pendidikan. Seharusnya adalah hal yang sangat mustahil jika sosok pahlawan adalah sosok yang berjuang demi dirinya sendiri, dan memberikan seadanya saja untuk anak didiknya. Ironis memang, tapi inilah yang terjadi.
Dengan begitu banyak ketimpangan ini, mungkin hari guru tak lagi dibutuhkan. Apakah kemunafikan diatas yang akan kita agungkan untuk guru dan tenaga pengajar lain? Memang tidak semua orang melakukannya, untungnya masih ada orang-orang yang mau dan berdedikasi tinggi untuk kemajuan negara ini. Masih banyak juga relawan pendidikan yang mau memasuki daerah pelosok untuk mencerdaskan anak-anak secara gratis. Maka merekalah ini yang seharusnya disebut pahlawan, bukan seorang yang berprofesi sebagai guru, namun relawan pengajar pendidikan.
Muhammad Subkhan,
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unair
Buat saudara subhan… sepertinya anda masih harus banyak belajar lagi dan melakukan penelitian tentang keadaan guru yang sebenarnya.Alangkah lebih baik diam daripada mengemukakan pendapat yang salah. Masih banyak guru yang baik yang mengajar dengan penuh dedikasi. Apakah salah kalau guru sejahtera…??? Asal tahu saja tunjangan sertifikasi yang kami terima kami gunakan untuk membiayai anak sekolah dan kuliah bukan untuk bermewah-mewah. Masalah kenakalan remaja kembali kepada orang tua dan masyarakat karena pendidikan tanggung jawab bersama. Coba anda hitung berapa jam anak di sekolah dan berapa jam anak di rumah….!!! Apalagi sekarang sudah globalisasi anak dapat mengakses informasi yang tidak baik ini kembali kepada keluarga untuk tetap mengawasi anak-anak. Coba anda bandingkan dengan negara tetangga apakah guru-guru di Indonesia sudah sejahtera ..?? Anda masih kuliah rupanya anda lupa akan jasa-jasa guru….anda harus introspeksi diri sebelum mengemukakan hal yang anda tidak kuasai….!!!