Jakarta, LP. Dijelaskan, selama ini proses pemerintahan di daerah sudah terganggu saat kepala daerahnya berstatus tersangka. Terlebih, bila dalam status tersangka itu yang bersangkutan sudah ditahan. Menjadi aneh, lanjutnya, bila sudah ditahan tapi masih aktif menjalankan roda pemerintahan. “Perlu kita review, masak dipenjara koq masih aktif,” ujar Djohermansyah yang dilantik sebagai Dirjen Otoda, Kemendagri, pada hari Jumat, tanggal 8 Oktober lalu.
Dia mewacanakan, seorang kepala daerah / wakil kepala daerah yang sudah berstatus tersangka, maka langsung diberhentikan sementara. Tidak perlu menunggu status terdakwa, sebagaimana ketentuan yang ada di UU No. 32 tahun 2004. “Kalau maunya masyarakat, jika seseorang sudah tersangka janganlah ngurus-ngurus kantor, ya itu kita akomodasi,” ujar mantan Deputi Politik Setwapres itu.
Dia menyebutkan, hingga saat ini tercatat sudah 125 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu tergolong tinggi, lantaran jumlah daerah di Indonesia ada 524. “Itu termasuk yang sudah divonis, masih disidang, dan prosesnya masih berjalan,” kata pria kelahiran Padang itu.
Sementara itu diperoleh data Komisi Pemberantasan Korupsi dari tahun 2004 s/d tahun 2008 ada 8 (delapan) kelompok perkara menurut jenis tindak pidana korupsi (TPK) antara lain sebagai berikut :
1. TPK dalam pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBD.
2. TPK dalam penyalah gunaan anggaran.
3. TPK dalam perijinan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan ketentuan.
4. TPK penggelapan dalam jabatan.
5. TPK pemerasan dalam jabatan.
6. TPK Penerimaan Suap.
7. TPK Gratifikasi.
8. TPK penerimaan uang dan barang yang berhubungan dengan jabatan.
Berikut adalah adalah 18 modus operandi korupsi di daerah yang dirangkum KPK, antara lain :
1. Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” kepala atau pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha.
2. Pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah / Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung.
3. Panitia Pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah pada merk atau produk tertentu.
4. Kepala Daerah / Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya mencairkan dan menggunakan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
5. Kepala Daerah / Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya menggunakan anggaran untuk kepentingan pribadi atau koleganya.
6. Kepala Daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan yang lebih tinggi dan tidak berlaku lagi.
7. Pengusaha, pejabat eksekutif dan legislatif daerah bersepakat melakukan tukar guling / ruilslag atas aset pemda dengan melakukan mark down atas aset pemda dan mark up atas aset pengusaha / rekanan.
8. Kepala Daerah meminta uang jasa kepada para pemenang tender.
9. Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari pengusaha dengan menjanjikan akan diberi proyek.
10. Kepala Daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan spesimen pribadi untuk mencairkan dana tanpa melalui prosedur.
11. Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro / tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank (placement).
12. Kepala Daerah memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak mempunyai kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi / kelompok.
13. Kepala Daerah menerima uang / barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkan.
14. Kepala Daerah / Keluarga / kelompoknya membeli lebih dahulu barang harga murah kemudian dijual ke instansinya dengan harga sudah di mark-up.
15. Kepala Daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan dana APBD
16. Kepala Daerah memberi-kan dana kepada pejabat tertentu dengan beban ke pada anggaran dengan ala san pengurusan DAU dan DAK.
17. Kepala Daerah memberikan dana pada DPRD dalam proses penyusunan APBD.
18. Kepala Daerah mengeluarkan dana untuk keperluan pribadi dengan memakai dana APBD.
Demikian sekilas berita dari Dirjen Otonomi Daerah dan KPK.