Lawang, LP. Politikus senior mantan anggota komisi A DPRD Kabupaten Malang ini ikut nimbrung terkait banyaknya pelanggaran yang dilakukan dalam kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) beberapa saat yang lalu.
“Saya dan juga teman-teman yang masih berkecimpung dalam kegiatan politik sangat mengkhawatirkan keberanian para pendidik yang dengan seenaknya saja memungut biaya pendidikan pada saat daftar baru. Mereka seolah olah tidak tahu kalau masyarakat sudah banyak yang tahu tentang PP Nomor 48 Tahun 2008 dan PP Nomor 17 Tahun 2010. Buktinya di Lawang yang merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Malang saja, sudah ada media yang mengangkat persoalan ini ke permukaan.” Katanya.
Menurutnya, Kepala Dinas Pendidikan harus segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan hal ini sebelum aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya, karena pelanggaran yang dilakukan telah merugikan masyarakat banyak.
“Saya sangat heran, seluruh masyarakat seolah olah tidak ada yang berani membuka rahasia pembiayaan pendidikan yang seharusnya menjadi beban orangtua.” Dijelaskan lebih lanjut, bahwa selain Kepala Dinas Pendidikan, maka sekretaris daerah dan anggota DPRD seharusnya juga turun tangan. Jangan dibiarkan saja, karena kalau nanti terbukti pelanggaran ini masuk karena hukum pidana, maka mereka mereka itu bisa juga dikenakan hukuman karena melakukan “pembiaran”.
“Saya nggak habis pikir, orang orang yang dahulunya bisa jadi sarjana karena ada beasiswa supersemar, ternyata setelah menjadi pejabat kok sifatnya menjurus kearah kehidupan kapitalis dan neolib.” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya mengatakan bahwa untuk memasukkan anaknya ke sebuah sekolah menengah kejuruan, harus membayar seragam saja sampai Rp. 1 juta. Apalagi macam macam biaya yang dicantumkan dalam formulir daftar ulang.
“Ada lagi yang namanya sumbangan biaya pengembangan pendidikan atau SBPP langsung dipatok tiga juta lebih tanpa ada musyawarah dengan orangtua siswa. Padahal menurut surat edaran gubernur jatim saya masih ingat, daftar ulang nggak boleh memungut apa-apa.” Sambungnya. Mantan anggota DPRD ini juga mengatakan bahwa sekolah negeri itu bukan milik kepala sekolah, tapi milik pemerintah daerah, sehingga setiap kebijakan penentuan biaya yang menjadi beban masyarakat harus diputuskan melalui sidang paripurna DPRD.
“Contoh yang jelas, mau menaikkan retribusi parkir dari Rp.500,00 menjadi Rp.1.000,- saja harus melalui sidang paripurna, apalagi menentukan besarnya biaya pendaftaran yang mencapai puluhan bahkan ratusan ribu.” jelasnya sambil mengepulkan asap rokok. Akhirnya dia hanya bisa berharap agar politikus yang muda-muda bisa mensikapi hal ini dengan semangat untuk membebaskan masyarakat dari berbagai pungutan yang tidak mempunyai landasan hukum, bila perlu dengan menggerakkan aparat penegak hukum agar Kepala Sekolah dapat mempertanggungjawabkan di depan hukum.
menurut saya kepala daerah itu perhatiannya cuma proyek-proyek saja