Pada setiap perhelatan perayaan Hari Jadi Kota atau Kabupaten selalu ditutup dengan suguhan pertunjukkan wayang kulit, hal ini dapat diartikan bahwa Pemerintah Kota maupun Pemerintah Kabupaten walaupun sudah menjadi kota yang dipenuhi dengan hal hal yang modern tetapi tidak boleh melupakan budaya leluhur. Pertunjukkan wayang kulit tidak dapat hanya ditonton sebagai suatu hiburan saja, akan tetapi lebih daripada itu perlu disimak adanya pesan moral yang terkandung didalamnya. Demikian pula adanya “pakem pewayangan” yang merupakan hal yang harus dihormati karena merupakan suatu contoh tentang kehidupan manusia baik pada masa yang lalu maupun untuk kebutuhan dimasa yang akan datang.
Aplikasi daripada “pakem pewayangan” yang tersirat dalam lakon lakon wayang perlu mendapatkan perhatian dan kajian yang sempurna agar manusia dapat mengarungi kehidupan didunia ini dengan sempurna, bahagia lahir batin serta melahirkan keturunan yang dapat diandalkan dalam menjawab tantangan jaman dimasa kini dan dimasa yang akan datang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya.
Salah satu tokoh pewayangan yang akan kita ketengahkan dalam edisi kali ini adalah peranan Semar ketika mengasuh para Pandawa Lima didalam mengelola penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dinegara Ngamarta.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Semar merupakan penjelmaan Dewa Ismaya yang sangat tampan dan sakti mandraguna, akan tetapi harus tampil sebagai wong cilik. Oleh karena itu dirinya memandang perlu untuk bertindak sebagai wong cilik yang hidup ditengah masyarakat pada umumnya.
Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk dan Bagong dalam aplikasi kehidupan sering diartikan dengan wong cilik yang selalu tanggap terhadap keadaan negaranya. Kalau ada bahaya yang mengancam negara, mereka tak segan untuk mendarma-baktikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan bersama. Akan tetapi ketika tingkat perekonomian negara lebih baik, mereka tidak pernah meminta ataupun menuntut peningkatan kesejahteraan tersebut. Mereka sudah mengerti konsep “nerimo ing pandum” yang telah diajarkan oleh nenek moyangnya sejak jaman dahulu.
Walaupun mereka menyadari bahwa mereka “dewa ngejawantah”, akan tetapi mereka menyadari pula bahwa badan wadagnya berasal dari kalangan masyarakat kebanyakan yang mengharuskan mereka untuk hidup sebagai masyarakat kebanyakan pula. Apalagi dalam sejarah mereka pernah terjadi hal yang bertentangan dengan kodrat dan irodat mereka, yaitu ketika Petruk menjadi seorang raja dan harus berakhir dengan tragis.
Semar dan anak-anaknya tidak segan segan untuk memberikan informasi dan masukan masukan yang berguna bagi bangsa dan negaranya dengan cara yang sopan dan penuh rasa tanggung jawab. Dan para Pandawa selaku satrianing projo tidak pernah menolak informasi dan informasi yang diterima dari Semar dan anak-anaknya, bahkan seringkali mereka meminta petuah atau nasehat dari Semar dan anak-anaknya didalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dinegara Ngamarta.
Hubungan secara lahir dan batin antara Semar dan Pandawa inilah yang harus dicontoh dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Artinya pemerintah bertindak seperti Pandawa Lima dalam menyelenggarakan roda pemerintahan dan rakyat bertindak sebagai Semar dalam mengeluarkan aspirasinya.