Sebagaimana diketahui bersama bahwa setelah diadakan penyempurnaan penghasilan bagi guru dengan diberikannya tunjangan sebesar gaji pokok, maka dalam usaha meningkatkan akses masyarakat untuk pendidikan yang bermutu dan berkualitas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Dalam peraturan pemerintah ini lebih banyak diatur mengenai tata cara pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini sampai dengan perguruan tinggi baik oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat (swasta). Dengan demikian dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, maka peraturan pemerintah ini merupakan acuan yang sangat mendasar sekali.
Hal ini dapat dilihat dari diberlakukannya peraturan ini sekaligus menghapus beberapa peraturan pemerintah sebelumnya antara lain PP Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Pra-sekolah, PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, PP Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional, PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum.
Berbagai kebijakan ada dalam peraturan pemerintah ini, namun sebagai bahan pembahasan kali ini adalah adanya beberapa larangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dewan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 181.
Pertama, larangan untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam disatuan pendidikan.
Kedua, larangan untuk memungut beaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan.
Ketiga, larangan untuk melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik.
Ke-empat, larangan untuk melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berbagai larangan tersebut tentunya bermakna sebagai upaya positif pemerintah untuk menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga yang ingin menjadikan sekolah sebagai “agen” produk produk mereka. Sebagai contoh dapat dilihat penjualan bahan pakaian seragam, buku pelajaran, LKS dan lain lainnya yang dijual melalui “agen” disekolah. Penjualan produk langsung kepada konsumen (siswa) melalui agen adalah upaya produsen untuk menggelapkan pajak penjualan yang akhirnya juga merugikan pemerintah dalam penerimaan pajak. Selain kerugian pajak penjualan, pemerintah juga dirugikan karena kader kader pembangunan bidang pendidikan telah terkontaminasi oleh virus virus yang mengubah fungsi pendidik menjadi “agen penjualan” atau “sales” dari produsen.
Para kader pembangunan bidang pendidikan yang terdiri dari pendidik dan tenaga kependidikan belum tentu mengerti bahwa apa yang selama ini mereka lakukan merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan pemerintah dan masyarakat baik orangtua/wali siswa maupun pedagang buku dan bahan pakaian seragam.
Pemerintah dalam hal ini telah mengambil sikap agar para pendidik dan tenaga kependidikan tidak lagi mencari penghasilan tambahan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya di satuan pendidikan. Dalam hal ini para pendidik seolah olah diajak untuk berpikir jernih, apakah penghasilan yang selama ini mengalami kenaikan dan masih ditambah dengan tunjang an sertifikasi masih kurang ?
Kalau masih kurang tentu pemerintah tidak berkeberatan bila pendidik dan tenaga kependidikan tadi mencari tempat kerja yang lain, karena saat ini ribuan bahkan jutaan sarjana berbagai jurusan yang menjadi pengangguran siap untuk menggantikan posisi sebagai calon pendidik baru.
Melihat dampak negatif terhadap pelanggaran larangan tersebut, selayaknya para pendidik dan tenaga kependidikan berpikir kembali bilamana akan melakukan pelanggaran terhadap larangan larangan tersebut. Namun, apabila para pendidik dan tenaga kependidikan nekad untuk melakukan pelanggaran, maka pemerintah sudah menyiapkan hukuman yang akan menjerat para pelanggar itu sebagaimana di atur dalam pasal 12 Undang Undang Nomor UU No.20 Th 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31Th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Apabila pendidik dan tenaga kependidikan terlanjur melakukan pelanggaran, sebaiknya melakukan pengembalian disertai permintaan maaf kepada orangtua/wali siswa. Hal ini merupakan iktikad baik sebelum mendapatkan gugatan hukum, baik pidana maupun perdata. Dan orangtua/wali siswa akan menyambut positif langkah pengembalian dan permintaan maaf tadi. Semoga bermanfaat!
kalo ada yg melanggar, lapornya kemana bu?
Betul… betul…betul. tapi di sekolah masih ada pelanggaran tersebut. Seyogyanya ada sosialiasi/gerakan sadar hukum bagi para insan pendidikan. Tq